PORGUR (Porseni Guru Madrasah) yang diselenggarakan di Kuningan pada tanggal 16-18 Maret 2018 seyogyanya harus menjadi ajang reflektif, kritis dan eksistensi lembaga Madrasah dan serta Guru Madrasah di tingkat Provinsi Jawa Barat agar Madrasah tidak menjadi objek politik yang hanya laris ketika PILKADA berlangsung saja.
Sebagai Guru Madrasah, kita perlu menyadari bahwa Madrasah adalah tulang punggung pendidikan moral sedari dulu. Madrasah yang pertama kali dibangun tahun 1909 dan lalu dimoderenkan tahun 1916 oleh Ayahanda Buya Hamka, adalah institusi yang dari awal menjadi penyemangat jiwa dan pembakar semangat juang para pemuda Muslim Indonesia. Dinasabkan pada Madrasah Nizzamiyah pada Masa Dinasti Abasiyyah dan Ayyubiyah, para pendahulu kita menginginkan Madrasah yang berada di Negara kita mampu menciptakan generasi muda Islam yang beriman kuat dan berilmu hebat.
Tentu cita-cita ini bukanlah isapan jempol belaka karena pengetahuan modern sekarang merupakan warisan Sarjana Muslim, diantaranya al-khawarizmi dan Ibn Sina. Serta Kemerdekan Indonesia pun tak luput dari semangat juang Pemuda Islam yang menempa pendidikan di Madrasah kala itu. Kesadaran ini mutlak diperlukan agar Guru Madrasah mampu merefleksi diri nya sendiri. Sejauh mana ruh juang (baca: kinerja) mereka sekarang sebagai generasi penerus Madrasah merealisasikan warisan pendahulu.
Namun tidak dapat dipungkiri banyak pendapat yang bernada miring tentang Madrasah. Penelitian yang dilakukan oleh Joel C. Kuiper tahun 2012 menyebutkan bahwa masyarakat masih berpendapat bahwa madrasah adalah institusi pendidikan berkualitas rendah. Survei Alvara tahun 2016 pun menghasilkan bahwa Madrasah bukanlah pilihan pertama Generasi Milenial. Selain itu Mastuhu seperti yang dikutip Prof. Qomar dalam buku “Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam (1999) menyebut Madrasah sebagai lembaga pendidikan ‘kepalang tanggung’ dimana tidak mampu seperti Pesantren dan gagap untuk menyaingi Sekolah Umum.
Selain itu, rendahnya jumlah Madrasah yang berkualitas seperti Madrasah Model dan Madrasah Insan Cendikia (IC) semakin menambah melorotnya daya saing Madrasah. Ditambah perlunya dana yang aduhai untuk mensekolahkan di Madrasah berkualitas, menambah deretan panjang citra buruk Madrasah. Hal ini tentu harus menjadi bahan reflektif juga menjadi self-critics.
Madrasah seharusnya harus lebih baik. Itu yang saya pikirkan. Hal ini tentu berpijakan pada dua faktor utama. Pertama secara historis, Madrasah Nizamiyyah dan Sumatra at-Thwalib pun terbukti mampu. Kedua secara teoritis sesuai dengan jawaban Amir Syakir Arsalam mengenai pertanyaan “Limadza Ta’akharal Muslimun wa Taqaddama Ghairuhum” pada tahun 1936 yang berbunyi “hanya berpegangan pada Islam lah orang Islam mampu bangkit” dan Madrasah memfasilitasi itu semua melalui sokongan pemerintah dengan undang-undang yang berlaku sekarang.
Namun perlu kiranya, kita sebagai Guru Madrasah berbenah agar eksistensi kita semakin diakui. Saya berfikir ada empat hal yang selalu menjadi kendala kita, Guru Madrasah, yakni: pikiran yang korup; regenerasi yang lambat, tidak inovatif serta kreatif dan terlalu tergantung pada orang lain.Kempat masalah ini sangat saling berkaitan. Berfikiran korup itu sangat merusak sendi-sendi kemajuan. Ketika semua hal hanya bernilai keuntungan maka, kita mencuri dan terus mencuri. Ketika mencuri, maka hilanglah sebagian dari system regenerasi yang baik. Sehingga menghasilkan para Guru Madrasah yang tidak kreatif dan inovatif. Ketidakmampuan untuk kreatif dan inovatif inilah yang membuat kita terlalu tergantung pada belas kasihan orang. Guru Madrasah harus mampu menghadirkan dirinya sebagai Guru yang bermartabat. Sehingga PORGUR yang dilaksanakan lebih berkualitas dan bermakna. PORGUR harus menjadi alat ukur apakah Kita, sebagai Guru Madrasah mampu mengembangkan kemampuan refleksi, mampu mengembangkan daya kritis dan akhirnya kita mampu mengeksistensikan diri Sebagai Guru Madrasah yang patut diperhitungkan. Selamat Kepada Para Pemenang. Buktikan Anda berkualitas.
Semoga madrasah melahirkan kader yg cerdas intelektualnya,spiritualnya,dan emosionalnya.
ردحذفإرسال تعليق