Punggung buku “Terjemah Syarah Al-Hikam” karya Ahmad bin Atha’illah As-Sakandary menggoda saya yang sedang bermain monster-monsteran dengan Dede sore itu. Saya ambil buku lama tersebut dari rak buku paling atas. Debunya menyesakkan hidung. Saya usap buku tersebut dengan tisu yang Dede bawa. Saya kembali membuka buku itu dengan seksama.
Saya buka semua tanda yang ada di buku itu. Saya tersenyum ketika mendapati komentar yang saya buat kala itu. Komentar yang ditulis biasanya berhubungan dengan kondisi yang dirasakan. Saya jadi mengenang masa-masa itu. Komentarnya kadang bahagia. Kadang juga nampak saya menuliskan sesuatu yang sangat sedih. Namun terlepas itu semua, saya faham masa itu adalah masa yang labil bagi saya walau sekarang pun masih.
Setelah sekian lama, saya akhirnya terjebak di halaman 161. Penerjemah menuliskan mutiara ke 152 yang berbunyi “ورود الفاقات اعياد المريدين” terjemahanya adalah sebagai berikut “tibanya saat-saat kesukaran (kemiskinan serba kekurangan sehingga merasa rendah dan hina diri), itu sebagai hari raya gembira bagi para murid (yakni orang yang sedang melatih diri untuk taqarrub kepada Allah)”.
Dalam penjelasan penerjemah, mengkaitkan mutiara itu sebagai cara mendapatkan sayang Allah SWT. Namun saya berfikir yang lain. Tentu sebagian ada yang menggap tidak boleh menafsirkan diluar penafsiran penulis, tapi tidak ada salahnya kita mencoba mengambil sudut pandang yang lebih luas.
Merendahkan diri dan menghinakan diri bisa jadi bermakna positif. Dua frasa ini pun bisa jadi bermakna negatif. Dalam kontek pembelajaran, merendahkan diri itu perlu karena jika kita merendahkan diri maka ilmu itu akan masuk kepada diri kita. Setidaknya itu yang penah dikatakan Guru Pesantren saya ketika duduk di Madrasah Aliyah, KH. Nadzir Hamzah. Beliau berkata
“al-ilmu” itu terdiri dari kasrah-sukun-domah. Maknanya ketika kita ingin mendapatkan al-ilmu maka kita harus merendahkan diri serendah-rendahnya agar suatu saat domah, atau rafa yang berarti terangkat. Sedangkan kata al-jahlu terdiri dari fathat-sukun-domah. Beliau memaknaninya dengan orang yang mendapatkan kebodohan bisanya ia sombong, sesombong-sombongnya. Maka ketika dia terangkat, keberhasilanya itu adalah kebodohan.
Tentu tafsiran tentang al-ilmu dan al-jahlu bisa bervariasi. Namun ternyata untuk memposisikan diri serendah-rendahnya ketika sekarang kita sudah dewasa sangatlah sulit. Kita mahluk dewasa yang mestinya harus belajar pun adalah kenyataan yang memberaktkan hati karena kita sudah merasa cukup belajar. Kenyataan sekarang banyaknya para ahli yang masih muda juga sangat menyakiti kita sebagai orang yang sudah tua. Kita yang tua ini harus belajar kepada orang yang usianya 10 tahun dibawah kita. Itu adalah kenyataan yang pasti menyakitkan.
Namun, tentunya, seperti mutiata Hikam ini, ketika kita ingin berbahagai. Maka kita harus merendahkan diri. Menerima semua ilmu dari yang muda-muda. Melepaskan semua egoism ke-tua-an kita demi sebuah pengetahuan yang tidak kita ketahui.
Saya begitu kaku dan malu ketika pertama kali mengenalkan DR. H. Rudi Ahmad Suryadi menjadi pemateri di Workhop bulan Juli itu dan sekarang bertugas menjadi pengawas di MTs. Negeri 3 Cianjur. Adik kelas waktu di SMP itu sekarang sudah berkamuplase jadi orang hebat, melebihi kakak kelasnya yang masih tetap begini-begini saja. Mungkin, suatu hari nanti pun saya akan mendapat ilmu dari murid-murid saya yang sekarang saya didik. Roda berputar itu adalah kepastian. Ketika egoism tetap dalam dada, siap-siap sesak dan bunuh diri. Jadi mari kita nikmati jaman kemajuan, seraya belajar mengihlaskan hati untuk diberi ilmu oleh orang yang muda.
Beda 10 mah abdi pa
ردحذفإرسال تعليق