Crowd Teaching: Sebuah Gagasan Self Disruption

Saya Eneng Elis Aisah. Saya seorang guru biasa. Niat menulis ini pun biasa. Hanya ingin membiasakan kembali kebiasaan-kebiasaan yang biasa. Saya orang biasa. Saya punya cita-cita biasa yakni menjadi manusia biasa. 
***
Gaung era 4.0 sudah begitu terasa. Ini adalah sebuah keniscayaan bahwa mau tidak mau teknologi telah merubah kita, cara fikir kita, cara tindak kita, cara laku juga cara kita mempercayai apapun. Revolusi Indutrsi (RI) 4.0 adalah imbas dari Revolusi Industri sebelumnya. Penemuan tenaga uap di RI 1.0 pada tahun 1790-an, berlanjut dengan terciptanya mekanisasi alat produksi. Penemuan Listrik di RI 2.0 sekitar 1890-an yang berujung pada mass production. Penemuan elektronik dan teknologi informasi di RI 3.0 sekitar tahun 1960 telah menciptakan otomatisasi pada alat. Dan akhirnya pada pertengahan abad ini, kita sedang dan masih akan menikmati kecanggihan era RI 4.0 yang terfokus pada sistem digitalisasi.
Klaus Schwab, Founder dan Executive Chairman Forum Eknonomi Dunia serta pencetus Revolusi Industri (RI) 4.0, menyatakan bahwa dikarenakan kemungkinan lebih dari berjuta-juta orang terkenoneksi dengan kecanggihan perangkat mobile yang luar biasa, kapasitas storage yang besar, dan akses terhadap segala bentuk pengetahuan yang unlimitedmemungkinkan munculnya teknologi terbarukan dalam bidang kecerdasan artifisial, robotika, IoT, autonomous vehicles, 3D printing, nanoteknolobioteknologi, dan computer quantum.
Kemungkinan penemuan terbarukan di bidang teknologi digital dan science ini akan men”disrupsi” seluruh aspek kehidupan begitu juga pengetahuan, pengajaran dan pembelajaran. Pun, sekarang dengan keberadaan smart phone siswa lebih percaya kepada Google daripada kepada guru. Apalagi siswa zaman sekarang adalah digital native, sedangkan guru mereka kebanyakan adalah Generasi X. Maka tidak dapat dimungkiri guru zaman old “keteter” dengan murid zaman now. Alih-alih kita memosisikan diri sebagai pribadi yang serba tahu, layaknya paradigma guru zaman dahulu, maka kita akan mendapat brand gaptek, kuno dan jadul oleh siswa kita.
Istilah “disrupsi” menurut pakar manajemen UI, Renald Kasali, pertama kali dikemukakan oleh Christensen pada tahun 1997 yang mengajukan pertanyaan penelitian Why great companies fail? Christensen menggambarkan disrupsi sebagai kebangkrutan perusahaan-perusahaan besar dikarenakan adanya ‘pengacau’ yang menggunakan teknologi dan menyasar segmen terendah dengan harga termurah. Lebih lanjut inovasi disrupsi itu akan lebih murah, lebih simple, dan lebih menghasilkan produk dan jasa yang lebih nyaman serta mampu menjangkau pelanggan yang lebih luas (Christensen, Aaron dan Clark , 2001). Contoh kongkrit dalam kehidupan kita adalah Bimbel biasa yang terdisrupsi dengan bimbel online, pun perusahaan taxi yang terkenal terdisrupsi oleh perusahaan aplikasi online yang tidak memiliki armada namun menggerus banyak penghasilan. Dan para disruptor itu adalah kebanyakan para milenial.
Malahan dalam Disruption in Education, Christensen, Aaron dan Clark (20001) mengemukakan bahwa disrupsi pun akan merambah dunia pendidikan pada berbagai level dan bentuk. Para inovator disrupsi di bidang pendidikan dipastikan akan membuka kunci aksesibilitas dan keterjangkauan pendidikan bagi semua orang, siapa pun, kapan pun dan di mana pun. Terry Heich menuliskan bahwa kemungkinan akan ada 25 trend yang mendisrupsi pendidikan. Beberapa di antaranya adalah terdapat model pembelajaran terkini dan terbarukan, media pembelajaran yang menggunakan 3D dan artificial intelegent atau augmented reality, platform yang mengembangkan self-directed learning, pembelajaran yang terintegrasi dengan smartphone, kursus online massal, flipped classroom, TED-ED, tak terbendungnya pendidikan home schooling, dsb. Semua itu bisa jadi akan mendisrupsi lembaga pendidikan formal seandainya lembaga pendidikan tersebut tidak melakukan disrupsi diri terlebih dahulu.

Berkenalan dengan para Disruptor
Gojek adalah salah satu start upyang mendisrupsi perusaham mapan yang telah ada (incumbent). Pendirinya adalah Nadiem Makariem yang seorang milenial. Pun, CEO Kitabisa M.Alfatih Timur, CEO Bukalapak. Ahmad Zakky, dan CEO Traveloka Ferry Unardi. Mereka adalah generasi milenial. Generasi ini menjadi sangat penting seiring dengan bonus demografi yang akan Indonesia hadapi pada tahun 2020-2030. Dan pada bonus demografi inilah sebanyak 46% warga Indonesia adalah mereka.

Bagaimana Ciri Seorang Milenial itu?
Berikut ini dikemukakan empat ciri milenial. Pertama, mahir teknologi. KMP Plus Consulting dalam buku “Smart Milenialis” menyebutkan bahwa generasi milenial itu tumbuh di saat teknologi informasi dirintis, dikembangkan dan menjadi bagian hidup sehari-hari. Gambar yang saya unduh dari https://visual.ly/community/infographic/computers tentang tahap-tahap utama perkembangan internet diatas menunjukan bahwa para milenial memang dipasilitasi oleh generasi baby boomer dan generasi x untuk menjadi generasi yang menikmati teknologi,. Tahun kelahiran mereka ditandai dengan terciptanya protocol internetyang menjadi dasar berdirinya WWW (word wide, web), cikalbakal keterhubungan dunia dan halaman web yang kita nikmati sekarang ini. Pada pertengahan tahun kehidupan para milenial pun tercipta MP3 yang menjadi pioneer industrimusikmasa depan.

Kedua, percaya diri, kreatif, inovatif, kritis dan pembelajar seumur hidup. Hal ini tentu bukan datang begitu saja. Jika menilik sejarah penemuan teori-teori pembelajaran modern yang digunakan saat ini, maka generasi milenial lahir, dididik dan dibesarkan dalam kemapanan teori pembelajaran modern yang membuat mereka memiliki sifat-sifat tadi.
Sebelum kelahiran para milenial, teori-teori utama pembelajaran modern mulai matang. Tahun 1969 adalah pertama kalinya Paulo Freire memublikasikan buku “The Classic Pedagogy of the Oppressed yang menjadi cikal bakal dasar pembelajaran Critical pedagogy yang akhirnya berkembang kepada pembelajaran Critical Thinking (Ennis, 1996). Pada tahun 1971, Albert Bandura memublikasikan Social Learning Theory. Pada tahun 1975 David Kolb dan Ronald Fry menulis Towards and Applied Theory of Experiential Learning. Pada tahun 1978 tulisan Lev Vygotsky diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul “Mind in Society: Development of Higher Psychological Processes” lalu dipublikasikan. Pada tahun 1979 John Flavell Flavell mengemumakan istila  "Metacognition" dalam artikelnya di American Psychologist dengan judul Metacognition and Cognitive monitoring: A New Area of Cognitive-Developmental Inquiry. Pada tahun 1980 Seymour Papert mempublikasikan Mindstorms. Children, Computers and Powerful Ideas. Pada artikel ini bahasa coding computer mulai dieksperimenkan dan dikenalkan pada anak.
Pada kelahiran para generasi milenial awal, teori pembelajaran modern semakin mempunyai bentuk kemilenialannya. Pada tahun 1983 Howard Gardner memublikasikan teori yang sangat fenomenal yakni tentang multiple intelegensia. Pada tahun 1988, John Sweller penulis Cognitive Load During Problem Solving: Effects on Learning for Cognitive Science. Dalam risetnya Sweller melihat pengaruh problem solving dalam pembelajaran. Pada tahun 1989, John Seely Brown, Allan Collins, & Paul Duguid mempublikasikan Situated Cognition and the Culture of Learning. Pada tahun 1990 Candy menulis “How People Learn to Learn” sehingga poluler lah istilah learning to learn
Pada tahun 1991 Jean Lave and Etienne Wegner Lave and Wegner memublikasikan Situated Learning yang menjadi riset lanjutan dari situated learning yang telah dikembangkan di tahun 1989 dengan menyertakan social interaction. Pada tahun 1991 Howard Gardner kembali mengembangkan pemikiran beliau dan menghasilkan penelitian mengenai How Children Think and How Schools Should Teach. Pada tahun 1991 Philip Candy memublikasikan teori tentang Self-direction for lifelong learning. Pada tahun yang sama pula, Jean Lave and Etienne Wegner memublikasikan Situated learning: Legitimate Peripheral Participation sebagai riset lanjutan dari Brown, Collins and Duigood. Dan pada tahun, 1998 John Dirkx memublikasikan Transformative Learning Theory in the Practice of Adult Education.
Pada akhir masa kelahiran para milenial yakni tahun 2004 George Siemens memublikasikan Connectivism: A Learning Theory for The Digital Age. Dan penemuan inilah yang akan menjadikan cikal bakal penelitian lanjutan di kelahiran generasi Z. Terbukti pada tahun 2005, Stephen Downes memublikasikan An Introduction to Connective Knowledge. Downes juga mengungkapkan sebuah tesis baru bahwa pengetahuan disebarkan melalui koneksi jaringan (knowledge is distributed across a network of connections). Dengan ini beliau meyakini bahwa belajar adalah kemampuan mengkonstruksi dan melewati jaringan-jaringan tersebut. Dan pada tahun 2013, Dale Dougherty mencetuskan ide The Maker Mindset dan pembelajaran berbasis STEM (Science, Technology, Engineering and Mathematics) yang digadang-gadang akan menjadi cikal bakal kurikulum pendidikan di era revolusi Industri 4.0
Ketiga, terbuka dan terhubung terhadap perubahan sosial dan global serta seseorang yang berperan aktif dalam communitydan coorporasi. Informasi yang adadalam gengaman ini mengakibatkan no boundary. The world is flat-nya Thomas L. Friedman (2005) jadi semakin dirasakan oleh semua orang. Bahkan dunia semakin lebih flat dan small. Tranding topic dan viralmenjadi dua frase yang semakin terkenal di kalangan para milenial. Adanya laman seperti change.org dan crowd funding seperti kitabisa.com membuat para mileniais berkontribusi besar mengubah kebijakan nasional atau dunia serta merealisasikan sebuah cita-cita secara bersama-sama. Seperti Nampak pada tangkapan layar website change.org di bawah ini yang menunjukan petisi untuk pencabutan nobel perdamaian yang telah Aung San Suu Kyi dapat atas sikapnya terhadap etnis rohingnya. Petisi ini telah diikuti oleh 431.626 orang dan masuk halaman the guardian news.



Atau sebuah penggalan dana dikitabisa.com yang membantu pembuatan pesawat R80. Penggalangan ini mampu mendapat Rp. 9.482.192.417 walaupun kebutuhan untuk membuat pesawat itu masih jauh.

Keempat, memiliki multi-pribadi dan multi-tugas. Espinosa menyebutnya kepribadian ganda, yakni sebagai seorang yang hidup di dunia nyata juga melanglang buana di dunia maya. Mereka pun biasanya memiliki banyak akun media sosial di facebook, instagram, twitter, whatsapp, dan lainya seorang milenialis menjalankan peran dunia maya yang sangat berbeda-beda sesuai dengan kecenderungan platform medsos tersebut. Selain itu para milenialis adalah seorang pribadi yang Multi-tugas (multitasking). Mereka mengetik sambil mendengarkan music juga menonton tv.
Dari keempat ciri milenial ini kita bisa menarik simpulan bahwa untuk menghadapi era 4.0 setidaknya kita harus memiliki beberapa keterampilan dan sikap diri.
Pertama, digital mastery. Keahlian digital mutlak kita miliki. Di masa depan, kita akan menemukan berbagai perangkat teknologi yang yang canggih di keseharian kita. Pada tanggal 02/05/2012, kompas.com memposting sebuah artikel dengan judul "Masa Lalu, Kini, dan Masa Depan Teknologi 'Augmented Reality'" yang ditulis oleh Senja Lazuardy, seorang Head of IT Division AR&Co Indonesia. Senja menjelaskannya bahwa teknologi augmented realty atau realitas tertambah sebagai sebuah teknologi yang menggabungkan benda maya dua dimensi dan ataupun tiga dimensi ke dalam sebuah lingkungan nyata tiga dimensi lalu memproyeksikan benda-benda maya tersebut dalam, waktu nyata. Pada saat itu kita masih berfikir bahwa teknologi tidak akan terjamah oleh kita dalam waktu dekat. Kita merasa hal itu hanya mimpi saja. Kini saya juga bisa melihat dan merasakannya sendiri teknologi ini dalam buku bacaan anak saya yang berjudul Ayo Sholat yang saya beli di Big Bad Wolf  Bandung pada tahun 2019. Teknologi ini kemungkinan akan hadir di madrasah-madrasah kita tidak lama lagi dalam bentuk buku atau media pembelajaran lainya. Sehingga media pembelajaran yang saat ini kita buat dan pake akan nampak menjadi kuno dan tidak akan membuat anak tertarik lagi.
Kedua, adalah keterampilan berfikir kritis dan bertanggung jawab. Kemajuan teknologi yang mengakibatkan adanya Internet of Thing (IoT) yang mana manusia terhubung dengan internet mengakibatkan melimpah ruahnya data yang ada (Big Data). Kompas tekno pada tahun 2017, menulis sebuah artikel yang berisi laporan Seagate, sebuah perusahaan penyimpan data di AS. Seagate merilis bahwa jumlah data digital yang terkumpul pada tahun 2025, diperkirakan mencapai 163 ZB (Zettabyte) atau sekitar 163 triliun GB (Gigabyte). Hal ini dikarenakan bahwa pada tahun 2025 diperkirakan 75% polulasi dunia terhubung dengan internet dengan kisaran koneksinya antara 4800 kali perhari. Dengan data perhari yang sangat banyak inilah, kita perlu memiliki keterampilan berfikir yang sangat kritis sehingga dapat memilah dan memilih data yang benar dan bukan hoax. Selain itu, kita pun perlu bertanggung jawab atas data yang kita buat dan sebarkan.
Ketiga, terbuka dan long life learner. Di zaman yang serba cepat, menjadi pembelajar adalah keniscayaan jika tidak kita akan tertinggal. Untuk menjadi pembelajar seumur hidup, kita harus memulainya dengan cara membuka diri. Jika kita diam saja di sudut ruangan dan tidak berani sepatah katapun bertanya maka kita tidak akan pernah mulai menjadi pembelajar seumur hidup. Artikel yang ditulis oleh Marjan Laal dan Peyman Salamati (2012) dari Tehran University of Medical Sciences, Sina Trauma & Surgery Research Center, Sina Hospital, yang terdapat dalam sciencedirect.commenyebutkan bahwa long life learning adalah proses yang terus-menerus yang menstimulasi dan memperkuat seseorang untuk memperoleh pengetahuan, nilai, keterampilan dan pemahaman yang mereka akan peroleh selama hidup dan untuk diaplikasikan dalam kehidupan mereka.
Life long learning sangat berkaitan dengan Meta-learning. Dalam buku Future ShockAlvin Toffler menulis bahwa “The illiterate of the 21st century will not be those who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn and relearn”. Dengan kata lain, Toffler menggarisbawahi bahwa pada zaman sekarang kita diharuskan untuk learn yakni mencari tahu yang belum tahu. Lalu setelah itu unlearn, yakni meninggalkan sesuatu yang setelah dipelajari namun ternyata pengetahun tadi tidak tepat atau tidak sesuai. Terakhir kita harus relearn, yakni menangkap pengetahuan yang benar dan memegang teguh pengetahun yang baru tersebut. Kegiatan ini adalah endless journey of life. Kemampuan untuklearn-unlearn-relearn hanya dapat didapat dengan kemampuan meta-learningyakni kemampuan refleksi diri (Center for Curriculum Redesign, 2015 dalam www.curriculumredisgn.org).
Keempat, kreatif dan Inovatif. Daya kreatif dan daya inovatif adalah imbas dari menjadi lifelong learner (Laal & Salawati, ). Kedua daya ini mutlak dimiliki semua orang yang hidup di era Revolusi Industri 4.0. Daya kreatif dan inovatif yang dilakukan para start upmuda sangat tidak terprediksi oleh para perusahaan besar (incumbent). Para disruptor melakukan kreatifitas dan inovatif yang tidak henti dan out of box.
Dalam buku Muslim Milenial yang ditulis oleh para alumni program pertukaran muslim Indonesia-Australia, tahun 2018, digambarkan bahwa daya kreatif milenial sangat tidak terbantahkan. Mulai dari menggagas milienial parenting, jihad digital, sufi milenial, dan santri milenial menjadi topik gagasan bagaimana para milenial bersentuhan dengan kekinian dalam mengisi kehidupan mereka. Pun, dalam bidang teknologi, kemajuan bidang kecerdasan buatan, IoT, 3D printing dan perangkat aplikasi lainnya adalah gambaran inovasi dari para milenial yang menjadikan hidup adalah dunia bermain yang tiada henti.
Kelima, bergotong-royong dan bekerjasama. Gotong royong dan bekerjasama adalah skill yang sangat penting di era digital. Skill ini terbukti berhasil dalam bisnis yang ditempuh para milenial. Banyak para milenial yang mengawali start up mereka dengan koorporasi. Gotong royong dan koorporasi inilah banyak mengilhami para milenial untuk membangun sebuah jejaring kerja, aplikasi atau web yang berkontribusi pada dunia. Seperti yang telah dibahas dalam karakter milenial, istilah “crowd” baik crowdfunding maupun crowdsourcing adalah bagian dari gotong royong di dunia maya.

Kebutuhan akan Mendistrupsi Diri
Self-Disruption adalah salah satu kunci, kata Rhenald Kasali dalam buku Self Desruption (2018), alih-alih terdisrupsi lebih baik mendisrupsi diri sendiri.  Mengapa madrasah kami harus memulai untuk men-disrupsi diri? Begini ceritanya. Saya sudah mengabdi di Madrasah ini hampir 14 tahun. Setengah dari pengabdian saya ini telah saya habiskan untuk mengurusi kesiswaan. Dan dalam kurun waktu yang sama, yakni tujuh tahun lebih saya hampir selalu terlibat dalam supervisi guru. Asalnya saya dan beberapa rekan selalu berfikir bahwa hanya dengan beberapa guru saja, kami mampu menjadikan siswa disiplin dan aktif belajar. Kami kala itu berfikir bahwa disiplin siswa lebih utama dari pada guru. Pada awalnya kami berhasil membuat budaya disiplin siswa. Namun budaya disiplin itu tidak pernah menjadi default. Seiring dengan tidak adanya perubahan signifikan terhadap prestasi madrasah kami, maka kami pun berfikir ulang apa yang harus kami lakukan. Kami akhirnya memulai refleksi dan kembali menelaah kemungkinan-kemungkinan lain. Akhirnya kami membuka file-file supervisi guru dan mendiskusikan kemungkinan faktor utama dari lambatnya perkembangan madrasah kami. Secara global, hasil analisis supervisi kami adalah sebagai berikut: 
Madrasah kami memiliki, 27 orang PNS dan 10 orang Honorer. Kalau seandainya dikelompokkan dengan Teori Generasi Strauss-Howe, maka 24 orang guru PNS termasuk generasi X (lahir 1961-1981) dan 3 orang guru PNS termasuk generasi milenial (lahir 1982-2004). Pun dengan honorer kita, 6 orang generasi X dan 4 orang generasi Y. Kalau sendainya kita pecah lagi guru yang termasuk generasi X ke dalam tahun, maka kita akan menemukan 13 orang guru yang lahir tahun dibawah 1970 dan 10 guru yang lahir diatas tahun 1970. Dari data ini kita bisa menyimpulan, bahwa madrasah kami masih didominasi oleh generasi X lebih khusus generasi X dibawah tahun 1970. Bahkan, kepala madrasah kita pun selalu dari kalangan generasi X awal.
Lebih lanjut dalam penggunaan teknologi dalam pembelajaran, jika kita menganalisa RPP dan kegiatan pembelajaran guru lalu kita tafsirkan dengan kerangka ciri seorang disruptor dimana Mc Affee, Bonnet & Westerman tahun 2014 (dalam Kasali, 2018:10) mengelompokan ada 4 tipe. Pertama, beginner. Beginner adalah seseorang atau perusahaan yang serba tidak digital, tak memiliki visi teknologi, tidak berani membeli teknologi juga tidak memiliki digital leadership. Kedua, Fashionistas. Fashionistas adalah adalah perusahaan atau orang yang memilihi digital teknologi tapi hanya untuk sekedar trend. Ketiga, konservatif, yakni seseorang yang memiliki leadership capability yang tinggi tapi lamban membeli dan menggunakan teknologi baru. Keempat, digital master, yakni orang yang memiliki digital capability dan leadership capability yang tangguh. Mereka ini adalah seorang yang terintegrasi dengan teknologi dan memiliki strong digital culture.
Dari keempat tipe ini maka, sebagaian besar kami adalah para Fashionistas yang memiliki digital capability, namun belum memiliki leadership capability sehingga teknologi yang kita miliki belum membudaya dalam keawajiban mengajar kita. Namun ada beberapa rekan yang sudah mulai memiliki digital master, yakni 1 orang rekan dari generasi x awal, 5 orang rekan dari generasi x akhir, dan 3 orang dari milenial. Jumlah total guru yang mulai mampu menjadi disruptor hanya 9 orang atau sekitar 24%.
Lebih lanjut kebutuhan disrupsi diri ini mulai sangat terasa ketika pada tahun 2017-an, kami memiliki pengawas baru. Dia adalah seorang milenial. Sang milenial ini membuat gembrakan terhadap alam sadar baik tak sadar kami. Sang milenial ini memeriksa rencana pembelajaran kita satu persatu, berdiskusi tentang pengajaran dan tentang materi pembelajaran secara face to face. Kegiatan ini sangat culture shocking bagi kita. Bahkan beberapa dari kita mengalami stress. Pun, ketika desas-desus bidang kurikulum hendak diganti dengan seorang yang muda, beberapa guru merapat dan membisikan kemungkinan akan terjadinya disharmonisasi seandainya pergantian itu terjadi. Dari sudut pandang para futurology seperti Renald Kasali dan Alec Ross hal ini adalah budaya yang mampu membatasi kemajuan dan menghambat kesusksesan. Fenomena-fenomena yang terjadi di madrasah kami, menurut saya, cukup untuk menjadi alasan urgensitas selfdisruption pada madrasah.

Crowdteaching,: Sebuah Ikhtiar menjadi Profesional.
Perbincangan saya dengan salah seorang rekan tentang lingkungan dan kultur sekolah kami yang monoton ini membawa kami pada diskusi imaginer. Kami sangat melarang dialog imaginer kami bersentuhan dengan kebijakan pemerintah untuk mengangkat kepala muda yang memiliki daya digital masteri yang tinggi dan anti korupsi. Kami hanya berfikir seandainya ada wadah atau media yang mampu membuat kami bekerjasama membuat sebuah perencanaan pembelajaran bersama, memberikan masukan atas pembelajaran yang kita laksanakan di dalam kelas, memberi ide atas rancana penilaian dan pelaksaaanya, juga bekerjasama agar meningkatkan kualitas diri dan kualitas professional kita. Namun kerjasama ini tidak dilakukan face to face. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari perasaan terancam, terimtimidasi dan malu. Juga agar tidak terjadi rekayasa.
Dialog imaginer kita dilanjutkan di dunia maya. Dan akhirnya kami tersandung kata crowdsourcing yang lagi trendingdi kalangan milenial. Istilah crowdsourcing pertama kali dicetuskan oleh Jeff Howe dalam wired.com dengan judul The Rise of Crowdsourcing pada tanggal 06/01/2006 Dalam artikel tersebut Howe menggambarkan bahwa crowdsourcingadalah sebuah paradigm baru dimana kita bisa membawa orang-orang dari luar masuk dan terlibat dalam proses kreatif dan kolaboratif.
Dengan kata lain crowdsourcing adalah sebuah kegitan yang melibatkan banyak orang yang difokuskan untuk mencapai tujuan yang sama. Tujuan-tujuan tersebut bisa meliputi inovasi, penyelesaian masalah, atau efisiensi, Crowdsourcing ini menggunakan teknologi baru, media sosial dan web. Crowdsourcing inilah yang menjadi peletak awal kegiatan kolaboratif terbarukan yang mampu membuat orang bergotongroyong untuk memberikan gagasa, ide, solusi, keterlibatan, optimalisasi tugas, menyediakan informasi dan mendapat feedback. Beberapa contoh aplikasi atau web berbasis crowdadalah change.org, kitabisa.com, Wikipedia.com, wikihow, waze, dan lain sebagainya.
Siapa yang tidak kenal Wikipedia. Jika kita masuk ke dalamwikpedia.com kita akan mengetahui sejarah singkat mengenai laman tersebut. Pada mulanya Larry Sanger, yang mendirikan Nupedia bersama Jimmy Wales, melontarkan ide mengenai ensiklopedia berbasis wiki pada 10 Januari 2001 di milis Nupedia. Kemudian pada 15 Januari 2001, Wikipedia secara resmi diluncurkan di situs web www.wikipedia.com. Sejak resmi diluncurkan pada tanggal 15 Januari 2001, Wikipedia bahasa Inggris telah mengalami perkembangan jumlah artikel yang luar biasa.
Tanggal 21 Januari 2003, jumlah artikel yang dimiliki telah mencapai 100.000 buah, kemudian pada tanggal 1 Maret 2006, telah memiliki 1.000.000 artikel. Angka ini terus bertambah menjadi 2.000.000 artikel pada tanggal 9 September 2007 dan menembus angka 5.000.000 artikel pada tanggal 1 November 2015. Hingga kini, Wikipedia menjadi ensiklopedia daring terbesar di dunia. Isi Wikipedia bisa editable asalkan kita log in. kita bisa menambah informasi atau mengurangi informasi. Sehingga pengetahuan yang terdapat dalam Wikipedia selalu tidak selesai dan selalu berkembang seiring berkemabangnya pengetahuan yang manusia miliki walapun pihak Wikipedia sendiri memiliki system "memperbaiki sendiri/otomatis".
Kembali ke diskusi imaginer saya dengan seorang rekan. Saya terbayang sebuah crowdteaching. Yakni sebuah platform local madrasah kami tempat guru share, ask & give ideas. Dalam benak saya guru memiliki akun masing-masing. Lalu mereka memposting rencana pembelajaran, rencana penilaian, dan kegiatan pembelajaran mereka. Guru yang lain bisa memberi masukan dan mengedit rencana pembelajaran dan penilaian serta memberi masukan terhadap video kegiatan yang dilakukan di ruang kelas. Guru wajib memposting kegiatan pembelajaran mereka dan bisa memilih siapa yang ingin dia minta bantuan untuk editing dan memberi gagasan. Namun  akun kepala sekolah dan akun kurikulum wajib untuk dipilih. Platform tersebut bisa mirip sebuah medsos juga berplatform crowdsourcing. Sehingga guru pun bisa mendesign media dan bahan ajar kreatif dan menarik serta bisa di-share link-nya kepada para siswa. Begitupun dengan hasil penilaian hariannya, siswa bisa langsung mengetahuinya secara pribadi.
Crowdteaching ini adalah sebuah gagasan self-disruptionbagi guru madrasah kami. Platform seperti ini saya yakini bisa membuat kita belajar terbuka walau hanya dengan beberapa orang sebagai awal. Kita juga belajar untuk memiliki digital mastery dengan berusaha login, share, ask & give ideas. Dan ada menu yang bisa membuat kita berkreasi mendesign media pembelajaran yang lagi-lagi bisa kita share link-nya ke akun medsos siswa kita. Sehingga proses lifelong learning kita menjadi endless journey. Juga ada menu bagi guru untuk refleksi, learn-unlearn dan relearnsehingga profesionalisme kita tetap terjaga dan meningkat seiring dengan massif-nya era Revolusi Industri 4.0 yang sebentar lagi kita hadapi juga seiring dengan siswa kita yang semakin native dalam digitalisasi dan teknologi. 


Bahan Bacaan


Bohang, F. K. (2017, April 07). "2025, Ada 163 Triliun GB Data di Seluruh Dunia. Retrieved Nopember 8, 2019, from Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "2025, Ahttps://tekno.kompas.com/read/2017/04/07/07421057/2025.ada.163.triliun.gb.data.di.seluruh.dunia.

Christensen, C. (n.d.). Disruptive Innovation. Retrieved Nopember 2019, 2019, from http://claytonchristensen.com/key-concepts/

Christensen, C. M., Aaron, S., & Clark, W. (2002). Disruption in Education. Retrieved Nopember 16, 2019, from https://er.educause.edu/-/media/files/articles/2007/1/erm0313.pdf?la=en&hash=F36B08C108E63EE7321FFA4DA64E8E53471B9EAD

Comstock, T. (2019). Cognitive Construction: A Timeline of Constructive Thinking. Retrieved Nopember 16, 2019, from https://www.cognitiveconstruction.com/cognitive-building-blocks/constructivist-timeline/

Ennis, R. H. (1996). Critical Thinking. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Freire, P., Macedo, & Donaldo. (1987). Literacy Reading the Word and the World. Great Britain: Routlledge and Regan Paul Ltd.

Heick, T. (2017, October 31). Teach Thought. Retrieved Nopember 15, 2019, from The Future of Learning: https://www.teachthought.com/the-future-of-learning/scale-of-disruption/

Kasali, R. (2016, Desember 3). Kompas online. Retrieved Nopember 12, 2019, from Inilah "Mindset" Baru yang perlu diubah Pelaku Usaha di Tahun "Disrupsi": https://money.kompas.com/read/2016/12/13/053437026/inilah.mindset.baru.yang.perlu.diubah.pelaku.usaha.di.tahun.disruption.?page=all

Kasali, R. (2018). Self Disruption. Bandung: Mizan.

Laal, M., & Salamati, P. (2012). Lifelong Learning; Why do We need it? Retrieved Nopember 16, 2019, from https://reader.elsevier.com/reader/sd/pii/S1877042811030023?token=3F3020E02C8F07B5E66E78529F7E04C3AC196D8105FA856AD5234C113342916F548E906CCDA3849098D1D3A3D9813B34

Lawson, L. (2002, November). Scaffolding as a Teaching Strategy. Retrieved July 12, 2010, from http://www.condor.admin.ccny.cuny.edu/~group4/

Lazuardy, S. (2012, Mei 02). Masa Lalu, Kini, dan Masa Depan Teknologi 'Augmented Reality'. Retrieved Nopember 18, 2019, from https://tekno.kompas.com/read/2012/05/02/00265964/masa.lalu.kini.dan.masa.depan.teknologi.augmented.reality?page=all.

Marr, B. (2018, September 2). Forbes. Retrieved Nopember 12, 2019, from Bernardmarr: https://www.forbes.com/sites/bernardmarr/2018/09/02/what-is-industry-4-0-heres-a-super-easy-explanation-for-anyone/#7ad14e4e9788

Marr, B. (2019). 8 Things Every School Must Do To Prepare for The 4th Industrial Revolution. Retrieved Nopember 16, 2019, from https://www.forbes.com/sites/bernardmarr/2019/05/22/8-things-every-school-must-do-to-prepare-for-the-4th-industrial-revolution/#16116238670c

Mclellan, S. (2018, April 3). Brigton. Retrieved Nopember 12, 2019, from The Digital Revolution: http://blogs.brighton.ac.uk/thedigitalrevolution/2018/04/03/uk-preparing-students-fourth-industrial-revolution/

OECD. (n.d.). Future of Education and Skills 2030. Retrieved November 12, 2019, from https://www.oecd.org/education/2030-project/about/E2030%20Introduction_FINAL.pdf

Program, A. M. (2018). Muslim Mileniam: Catatan dan Kisah Wow Muslin Zaman Now. Bandun: Mizan.

Redesign, C. f. (2015). Meta-Learning for 21st Century: What Should Students Learn? Retrieved Nopember 12, 2019, from http://curriculumredesign.org/wp-content/uploads/CCR-Meta-Learning-FINAL-Nov.-17-2015.pdf

Ross, A. (2019). Industri-Industri Masa Depan. Jakarta Selatan: Renebook.

Savitri, A. (2019). Revolusi Industri 4.0: Mengubah Tantangan Menjadi Peluang di Era Disrupsi 4.0. Yogyakarta: Genesis.

Schwab, K. (2016, Januari 14). World Economic Forum. Retrieved Nopember 12, 2019, from The Fourth Industrial Revolution: https://www.weforum.org/agenda/2016/01/the-fourth-industrial-revolution-what-it-means-and-how-to-respond/

Westerman, G., Bonnet, D., & McAfee, A. (2014). Leading Digital: Turning Technology into Business Transformation. Retrieved Nopember 16, 2019, from https://www.vadira.de/hubfs/Blog%202019/02%20Februar/Leading-Digital-George-Westerman-Didier-Bonnet-And-Andrew-Mcafee.pdf


1 تعليقات

  1. Suka bermain casino online ???
    mari bergabung bersama kami dan rasakan kemenagan besar.


    Ayo Segera Daftar Akun Bermain Anda..Gratiss..

    Klik >>>>>>> Daftar Game Casino

    Hubungi Segera:
    WA: 087785425244
    Cs 24 Jam Online

    ردحذف

إرسال تعليق

أحدث أقدم

المتابعون

إجمالي مرات مشاهدة الصفحة