Tulisan ini adalah tulisan lama saya. Saya membuat tulisan ini sekitar tahun 2012 untuk Lomba Penulisan Kisah Inspiratif Guru Madrasah Kementerian Agama RI. Alhamdulilah, tulisan ini mendapat Juara 3. Tulisan ini di-repost agar kembali menyemangati saya akan akreditasi yang akan dihadapi tahun depan, selain mengobati kerinduan saya terhadap sosok Ibu yang pernah satu mess dengan saya. Semoga Beliau sehat. Amin.
Seorang sosok Ibu tua, tiba-tiba bertugas menjadi kepala sekolah di MTs. Negeri Ciranjang tempat saya bekerja. Seperti hal nya pergantian Kepala sebelumnya Sertijab yang dilaksanakan pagi cerah itu biasa saja. Bagi MTs. Negeri Ciranjang yang letaknya jauh dari jalan raya dan pusat kota, Para Kepala dan Guru yang datang sering silih berganti secepat kabar angin yang datang dan pergi, tanpa meninggalkan bekas hanya torehan abu pasir yang tanpa arti.
Namun esok hari setelah Sertijab dilakukan, untuk pertama kalinya sesosok Punggug Tua Renta telah mengagekatkan kami. Berdiri tegak menyongsong mentari. Tanganya terpangku dibelakang punggung. Mata lurus tajam melihat gerbang sekolah yang sudah mulai reot. Ia sesekali memedarkan pandangan ke arah tempat parkir guru yang luas. Belum ada seongok motor pun yang terparkir disana, sehingga mobil Xenia biru menjadi raja parkiran saat itu dan seakan mempermalukan motor-motor yang parkir setelahnya yang datang terlambat.
Tiap pagi sosok Punggung Tua Renta itu, tidak hentinya menyongsong mentari. Dan dengan tatapan dan budi bahasa yang lembut, Sang Ibu Tua pun menyapa semua orang yang datang. Semua guru yang ditemui ditanya kabar dan keluarganya. Sehingga tidak terelakan malunya ketika guru tersebut datang terlambat dan atau jarang masuk kantor. Begitulah, keriuhan suasana MTs. Negeri Ciranjang setelah kedatangan sosok tersebut.
Beliau adalah Ibu Dra. Hj. Sri Sintawati, pengabdianya di dunia madrasah di Cianjur tidak dapat diragukan. Mutasi yang beliau jalani ke MTs. Ciranjang hanya berselang dua tahun dari sisa masa jabatan Beliau mengabdi sebagai PNS. Masa muda beliau dihabiskan mengabdi di madrasah-madrasah pusat kota Cianjur. Ditangan Beliau ketika itu, madrasah-madrasah tersebut mengalami kemajuan dari segi infrastruktur dan kualitas.
Diantara permasalahan yang ada dan akan dihadapi Beliau adalah sebagai berikut: Pertama jarak yang sangat jauh dan tidak ada nya akases angkotan umum yang murah. Kedua, rata-rata guru yang bertugas disana adalah para guru yang domisili rumah nya sangat jauh dengan tempat sekolah, rasio jumlah guru lebih banyak dibanding kebutuhan serta banyak nya guru honor yang mengabdi disana ditambah kurangnya soliditas dan kekompakan guru. Ketiga, walaupun memiliki kondisi yang luas dibanding dengan, madrasah negeri lain di Cianjur, MTs. Negeri Ciranjang memiliki jumlah siswa yang paling sedikit selain dikarenakan jumlah SD/MI di sekitar yang relatif kecil juga daya saing dengan SMP dan MTs lain nya, ditambah kurang populer dan kurang dipercaya oleh masyarakat. Keempat, krisis kepemimpinan dan role model bagi guru dan siswa. Terakhir, masalah-masalah administrasi ketata-usahaan, kebendaharaan dan infastruktur yang terlalu rumit untuk dibicarakan.
Permasalahan-permasalahan diatas tentu semakin lebih komplek dan berat bagi Ibu, panggilan akrab Beliau, ketika dihadapkan dengan jadwal akreditasi yang hanya tinggal satu tahun lagi. Namun selalu ada opsi bagi siapa saja, take it or leave it. Tapi berdiri tegaknya Ibu setiap pagi di sudut teras kantor sembari memandang datangnya mentari, menegaskan Sang Tua renta ini tidak akan mundur satu jengkal pun. Tugas bagi Beliau adalah amanah dan harga diri yang mesti dipertahankan dan dipertanggungjawabkan kelak kepada Sang Pemberi. Mundur atau tidak berusaha adalah kepencudangan yang tidak pernah dia sandang dulu bahkan tatkala tua renta pun. Hal itu adalah kehinaan yang akan membuat beliau tidak mampu berdiri tegak di akhirat nanti.
Prinsip dan keteguhan Beliau lah yang membuat permasalahan yang begitu komplek mencair laksana gunung es. Lambat laun, permasalahan-permasalah dapat dibingkai dengan solusi walaupun tidak selalu berhasil dengan cepat. Yang paling menggugah dari semua solusi tersebut adalah pendekatan Beliau yang sangat keibuan. Menempatkan seleuruh elemen Madrasah laksana anak dan cucunya. Panggilan-panggilan kekeluargan disematkan kepada setiap individu yang unik tanpa terkecuali. Semua guru dan staf disatukan dalam sebuah pertemuan rutin di hari Senin yang membahas tentang progress sekolah, informasi dinas dan bahkan kritikan pedas Ibu kepada setiap orang yang nampak susah diajak bergabung sering dilontarkan. Orang-orang dipilih sangat selektif. Posisi penting dikuasi oleh orang-orang yang berdedikasi dan berkomitmen tinggi, baik tua maupun muda. Cara Beliau memilih inilah yang unik tidak menimbulkan kesenjangan juga tidak menimbulkan kecemburuan karena dihadapan Beliau orang yang tidak menduduki jabatan pun selalu dipertanyakan kinerja, kehadiran dan kontribusinya kepada madrasah.
Jalinan dengan masyarakat disulam dengan indah. Mengunjungi tokoh-tokoh Masyarakat, tokoh Desa, Sekolah-sekolah dasar yang dekat dengan madrasah menjadi salah satu tugas yang Beliau lakukan diawal kedatanganya. Bahkan tidak segan membesuk keluarga guru yang mengalami musibah kerap beliau lakukan sendiri. Para siswa sering ditanya dan ditegur mengenai asal dan keberadaan mereka. Mereka juga diberikan fasilitas yang baik untuk meningkatkan potensi dan aktifitas mereka. Ekstrakurikuler banyak dibentuk dan dibiayai. Prestasi siswa mulai menggeliat di segala bidang baik akademik maupun nonakademik. Tak segan ada beberapa siswa yang merangkul beliau ketika mereka berhasil meraih juara. Beliau sangat dekat dan sangat hangat.
Selain menyongsong pagi dengan tegas, Sang Ibu pun selalu berkeliling sekolah. Tangannya masih diposisi punggung, melihat seluruh pasilitas sekolah yang sudah rusak dan tidak tertata. Tidak segan Beliau memungut sampah yang berserakan dikoridor kelas. Bahkan sekali waktu, Beliau mengambil sapu lalu serta merta menyapu keadaan halaman yang kotor, sontak seluruh guru dan siswa mengikuti kegiatan beliau. Tak terelakan hari itu menjadi ajang bersih-bersih seluruh madrasah. Ibu juga selalu menanyakan keadaan kelas yang masih kosong tanpa guru. Sehingga guru bersangkutan malu bukan kepalang karena ditegur didepan siswa.
Ketika akreditasi tinggal hitungan minggu, permasalahan sudah tinggal genangan-genangan dari gunung es yang menjulang. Tim yang beliau bentuk bekerja menggerakan seluruh civitas madrasah untuk mengumpulkan bahan yang diharapkan Tim assesor. Tim ini sangat kompak dan didukung oleh guru yang sangat kompak dan solid. Atas arahan Ibu semenjak kedatangan beliau ke MTs. Negeri Ciranjang, akreditasi dapat mudah dilalui. Dan Assesor menilai Madrsah kami dengan predikat A. Nilai tersebut lebih dari cukup bagi kami sendiri. Namun hal itu persembahan yang sangat cantik dari kami bagi ibu di akhir masa jabatanya.
Tahun 2011 lalu Beliau telah purna. Punggung Sang Penyongsong Mentari Pagi pun hanya kenangan. Namun demikian di sudut-sudut MTs. Negeri Ciranjang kini berdiri tegak punggung Sang Penyongsong Mentari lainya. Tidak hanya satu orang, namun banyak orang, rela berpagi-pagi hanya untuk berdiri tegak menyambut Sang Pencari Ilmu, para generasi muda. Gaya kepemimpinan yang ibu lakukan masih berbekas dalam benak seluruh guru dan staff. Gaya kepemimpinan yang sederhana dan apa adanya. Gaya kepimpinan yang mengoptimalkan pemberian Allah SWT, yakni menjadi individu dan hamba dari Sang Maha Rahman dan Rahim. Gaya kepimpinan yang menyentuh kesendirian, kepapan dan kemarjinalan. Beliau hangat laksana rembulan pagi, tegas laksana api, menyejukan laksana air, menenangkan laksana hembusan angin. Beliau mengotimalkan sifat-sifat Rabb dalam memimpin bukan mengadopsi teori-teori kepemimpinan barat yang menjelimet.
Kini kerinduan akan sosok Ibu hanyalah tinggal pahatan-pahatan prestasi yang menunggu ditorehkan. Senyumnya yang tersungging adalah senyum siswa-siswi MTs. Negeri Ciranjang yang menunggu dijadikan generasi penerus yang gemilang dan berprestasi. Keramahan Beliau yang hangat adalah kenangan yang semakin menguatkan kami para guru MTs. Negeri Ciranjang. Beliau bukan Ibu kami, namun Beliau telah memberikan kasih sayang pamungkasnya terhadap kami. Beliau bukan segala nya bagi kami, tapi Beliau telah memberikan segala penngabdian terakhirnya bagi bangsa bersama dengan kami. Tidak akan lekang oleh waktu kenangan dan inspirasi ini. Terima kasih ibu.
Kesabarannya bisa terlihat dari sorot mata dan wajah.
ReplyDeleteMerinding! Salam kenal dan salam baktos buat ibu, Laksana bintang yang sulit di genggam namun sinarnya menyilaukan mata meski dr kejauhan. pertanda hadirnya tak diragukan lagi.
ReplyDeletePost a Comment