Sejarah Indonesia nampaknya adalah rentetan cerita para Sang Pembela Bangsa yang berjuang dalam kesunyian. Sebutlah, Hatta, tokoh yang rela cerai dari Dwi Tunggal yang mengukir namanya dalam Kursi Wakil Presiden Republik Indonesia. Hatta tidak nyaman ketika dia harus duduk di kursi empuk sedangkan rakyat dalam kesusahan. Upaya untuk menegakkan cita-cita “Demokrasi Kita” selalu beliau gaungkan bahkan sampaikan kepada patner Dwi Tunggalnya, namun Cita-cita yang berbeda menghalangi telinga untuk mendengar. Duo yang terasah oleh sejarah untuk memerdekakan negeri ini dengan dibuang di Boven Digul akhirnya berpisah demi sebuah kekuasaan. Jalan kita berbeda, sang orator yang suka lampu sorot atasnya (egosentris) dengan sang pemikir yang asik dengan kaderisasi (altruism), akhirnya sejarah mencatat, mereka harus berpisah.
Siapa yang tidak kenal Sutan
Syahrir, seorang idealis dan intelektual. Tahun sebelum kemerdekaan, Syahrir
adalah pejuang yang tak kenal lelah. Dia Bersama Hatta berjuang mati-matian
untuk sebuah negara Merdeka. Peristiwa Rengasdengklok merupakan saksi,
bagaimana sang pejuang ini memoivasi para pemuda agar Soekarno dan Hatta memproklamasikan
Kemerdekaan Indonesia lebih cepat. Di awal kemerdekaan, Syahrir pernah masuk
dalam kabinet, namun klaim subversive ada dipunggunya dan diasingkan sampai
akhir hayatnya, tanpa dialog, ia harus menanggung fitnah atas sesuatu yang
tidak ia lakukan. Sejarah sekali lagi mendokumentasikan bagaimana kekuasaan telah
menghilangkan keringat kebersamaan dan perjuangan.
Cerita Buya Hamka, tidak kalah
seru. Sang sastrawan yang berjuang dan berkawan karib, harus merasakan penyiksaan
dan pengucilan karena berbeda haluan dengan yang sedang berkuasa. Kawan menjadi
lawan dalam benak orang-orang yang berkuasa. Kawan adalah ancaman. Dan Hamka
merasakan hal itu. Walaupu Haji Rasul, ayah Hamka, sangat mengagumi Soekarno
pun Hamka, namun ikatan kuat itu akhirnya lepas seiring dengan ‘kerakusan atas
kuasa’.
Di mata orang-orang yang sedang
berkuasa, semua idenya adalah kebenaran an sich. Namun semua itu bertentangan
dengan alam demokrasi kita, yang harus bermusyawarah untuk mencapai
kemufakatan. Itulah alas an mengapa negara ini bias berdiri menjadi suatu
negara kesatuan atas dasar musyawarah mufakat. Ketika musyawaraf mufakat itu di
hilangkan demi sebuah kebenaran an sich pada diri sang penguasa, maka
kita telah memasuki kembali zaman kegelapan karena musnah sudah kebaikan walau
semua idenya adalah baik.
Surat-surat Hatta yang dilayangkan kepada Soekarno dalam Buku Demokrasi Kita, juga “Kenang-kenangan Hidup” autobigrafi Hamka, adalah saksi bahwa, banyak pahlawan kita yang berjuang dalam diam, tanpa haus kuasa, dan tanpa jabatan. Karena mereka Republik ini bisa bertahan sampai saat ini. Oleh karena itu di moment hari pahlawan ini, mari kita menghagai ‘diamnya’ orang biasa dan biasakanlah ‘dialog’ bagi para pemegang kekuasaan.
إرسال تعليق